Bahan kimia bernama Perfluorinated Alkylated Substances (PFAS) yang terbagi menjadi perfluorooctanoic acid (PFOA) dan perfluorooctane sulfonate (PFOS) biasanya digunakan untuk bahan tekstil anti-noda, pakaian anti-air, cat, dan beberapa kemasan produk makanan. Studi sebelumnya menunjukkan bahan ini pada hewan bisa memicu kanker dan mengganggu kekebalan tubuh.
Ketika PFAS dikenalkan di lingkungan, bahan tersebut alami bioakumulasi yang artinya mahluk hidup pada rantai makanan atas seperti manusia akan mengalami penumpukan senyawa yang tinggi. Pada bayi manusia ekspos PFAS terutama terjadi ketika menyusui seperti dikatakan oleh peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti melihat 81 anak yang menerima ASI ekslusif dan mengukur kadar PFAS-nya. Hasilnya ditemukan bahwa anak-anak tersebut mengalami peningkatan 20-30 persen PFAS setiap bulan sepanjang pemberian ASI.
Salah seorang peneliti dari Harvard, Dr Philippe Grandjean menegaskan bahwa tetap ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Studi yang dilakukan bersama rekannya ini dibuat sebagai 'panggilan' agar pemerintah lebih mengawasi penggunaan PFAS karena efeknya yang berpotensi merugikan kesehatan.
"Sejauh ini, kita baru punya patokan batas sementara dari EPA (Environmental Protection Agency) untuk PFOA dan PFOS di sumber air minum. Batas itu pun kemungkinan besar sudah 100 kali lebih besar untuk melindungi anak-anak dari dampak negatifnya," kata Grandjean kepada Live Science dan dikutip dari berbagai sumber pada Selasa (25/8/2015).
Grandjean mengatakan bagi ibu yang khawatir, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi ekspos PFAS di tubuh seperti mengonsumsi makanan laut bernutrisi dari lingkungan yang bersih. Biasanya dari sumber makanan lah yang jadi saluran PFAS masuk ke tubuh manusia dewasa.
Baca juga: Kandungan Timbal dalam Lipstik Bikin Kecerdasan Berkurang (fds/up)











































